Selasa, 10 Maret 2009

" Mbok Minah "

(Tulisan ini bersifat fiktif belaka. Karenanya nama, karakter, tempat, tokoh, dsb juga fiktif)

Mbok Minah menyeka peluhnya berkali-kali. Matahari pagi ini menyorot tajam persis ke hadapannya. Ia berkali-kali berucap, “Masya Allah...”. Dagangannya hari ini baru terjual lima belas bungkus saja, padahal ia menyiapkan 75 seperti hari-hari sebelumnya. Ia berdiri memandang ke sekitar, kanan-kiri-belakang. “ Ya Allah ada apa gerangan ?, sehingga daganganku belum habis.......” Ini adalah kali pertama selama lima tahun berjualan, sepi pembeli, padahal orang yang berlalu lalang cukup banyak di Alun-alun kota ini. “ Apakah sekarang orang sudah tidak suka menyantap jajanan tradisional lagi ? Apakah rasa getuk singkong, kue kapur, ongol-ongol dan jadah buatanku sekarang tidak bisa memenuhi selera mereka lagi? Apakah orang sudah tidak tertarik lagi kepada penjual jajanan yang semakin hari semakin tua ini.....? “, jeritan pertanyaan itu berkali-kali muncul di dalam hatinya.

Mbok Minah menggendong bakulnya di punggung. Ia harus segera mengambil langkah seribu agar dagangannya habis. Ia banting stir agar dagangannya habis sebelum waktu Dhuhur. Karena ia harus sampai ke rumah untuk melakukan proses pembuatan materi dagangan yang dipersiapkan untuk esok hari. Ia pun harus berada di rumah agar kedua anaknya terlayani ketika mereka pulang dari sekolah. Karena ia sangat membanggakan anak-anak keturunannya dan ia rela bersusah payah menghidupi serta membahagiakan buah hatinya itu. Ia sangat bersyukur dikaruniai keluarga sederhana seperti yang dialaminya ini.

Mbok Minah tiba di komplek perumahan real estate. Baru kali ini ia masuk. Meski rumah mereka besar-besar namun nampak sepi. Pastilah penghuninya berada di dalam rumah. Mereka lebih nyaman di dalam karena di luar cukup panas hari ini. Makanya mungkin mereka menanam pohon-pohon besar di tepi jalan, ada mangga, sukun, dan juga palm agar nuansanya lebih teduh. “ Enak juga berjualan di komplek ini “, bisiknya dalam hati.

“ Jajan....jajan....Bu. Ada getuk singkong, kue kapur, ongol-ongol juga ada.....”, teriak Mbok Minah di depan pagar sebuah rumah bercat coklat yang besar namun bersih. Ini adalah rumah pertama yang terletak di pojok dekat pintu gerbang masuk. “ Bu....jajannya.........”, ujarnya lagi. “Alhamdulillah.....”, ucapnya lirih, “ yang punya rumah keluar !”. Seorang wanita muda bercelana putih dan berjilbab nan ayu itu mendekat, “ Jajanan apa yang Mbok bawa ? Rasanya Mbok baru kali ini ya berjualan jajan di komplek ini ? “, tanya wanita itu ramah. Mbok Minah membuka plastik penutup bakulnya. “ Ooh jajanan ini....., boleh bungkus lima Mbok, campur-campur aja. Rasanya enak kan Mbok ? “. Mbok Minah mengangguk. Lumayan, pikirnya, jika satu rumah membeli lima bungkus saja daganganku pasti cepat habis. Apalagi jumlah rumah di komplek ini lima puluh unit mungkin lebih. Ya nantinya setiap rumah akan dikunjungi dua hari sekali secara bergantian agar mereka tak bosan . Ia akan berjalan terus dan terus berjalan menjajakan dagangannya. Sebagai pedagang pun Mbok Minah mempunyai target tertentu mengenai jumlah jajanan yang dibawa. Ia tidak mau membawa terlalu berlebihan, mana mungkin kuat. Dan ia pun harus berhati-hati agar tidak banyak jajanan tersisa karena tidak laku. Jika ia pulang masih membawa sisa biasanya akan dimakan sendiri atau dikirimkan ke tetangga sebelah atau anak-anak tetangga yang kadang-kadang bermain di halaman rumahnya.

Wajah Mbok Minah sumringah karena dagangannya bisa habis di komplek perumahan ini. Ia berjalan dengan penuh semangat. Ia berkali-kali mengucapkan syukur kepada Tuhan, karena ia tidak sampai berputus asa, bahkan malah diberi-Nya jalan untuk masuk di komplek ini, dan ternyata dagangannya bisa habis.

Mbok Minah berhenti di bawah pohon sukun di depan rumah Wanita Ayu itu, rumah pertama yang menurutnya sangat bersejarah dalam berjualan jajanan di komplek perumahan itu. Ia pun berkenalan dengan tukang becak yang juga tengah beristirahat di bawah pohon itu.Ia memandangi rumah itu dalam-dalam. Ia berharap Wanita Ayu itu keluar kembali, karena ia ingin tersenyum dan menyapa untuk mengucapkan terima kasih atau apalah. Wanita Ayu itu seperti pernah dikenalnya. “ Namanya Bu Mansyur....”, kata tukang becak. Mbok Minah jadi tersipu malu karena rupanya tukang becak itu memperhatikan tingkah lakunya sehingga dia berhasil menebak tentang apa yang sedang terlintas di pikirannya.

Ya, Mbok Minah pedagang jajanan tradisional itu telah menemukan jalan, bagaimana cara menghabiskan dagangannya. Meski berubah caranya dan lebih capek, ia merasa puas dan juga bahkan bertambah kenalannya. Mbok Minah, hari ini dagangannya bisa habis. ( medio : 24032008 ) .

" Antara Jakarta - Tegal "

“ Namanya juga cerita fiktif, maka jika ada nama, alamat, kejadian, atau yang lainnya sama dan serupa dengan Anda……itu hanya kebetulan saja. Karenanya mohon dimaafkan “.

------------------------------------- wg-------------------------------------

Ning, adalah gadis dari Tegal.Lebaran kali ini berbunga-bunga hatinya. Kenapa ? Karena, Raymond, gebetannya, ngotot ingin mengantar Ning mudik ke Tegal.

Gadis ayu itu sukses dalam membawa diri di kota metropolitan. Meski hanya lulusan D-1Komputer, ia berhasil ditempatkan di bagian marketing pabrik makanan terkenal di Jakarta. Mungkin penampilan dan kecerdasannyalah yang dinilai orang punya nilai tambah gadis ini. Jika ditanya mirip artis siapa ?, Luna Maya ? .....ya, memang mirip sekali dengan dia. Bayangkanlah ! he he he. Meski demikian, otaknyapun tidaklah kalah hebat dibandingkan kawan-kawan di team work-nya di pabrik itu. Ia cukup bisa diandalkan. Beberapa event usaha pengelolaan marketing perusahaannya adalah ide kreatifnya. Makanya ia dianggap sebagai salah satu aset perusahaan yang dipertahankan , ibarat pepatah ” jangan dibuang sayang ”. Namun gadis asli Tegal itu tidak takabur, seperti ajaran orang tuanya, ia selalu sederhana, elegant dan tetap berjilbab. Hari demi hari bekerja di Jakarta, tak terasa sudah dua kali Lebaran dilewatinya.

Ning memilih naik sepeda motor saja, ketika Raymond menawarkan untuk mengantar hingga ke rumah Ning di Tegal, dalam mudik Lebaran kali ini. Bahkan Raymond ingin kenal lebih dekat dengan orang tua dan keluarga Ning. Sementara Ning sendiri baru tiga bulanan kenal Raymond. Ning belum berkehendak kenal lebih jauh dengan orang tua apalagi keluarga Raymond. Ning hanya tahu jika nama lengkap Raymond itu : Muhamad Raymond Setiawan. Nama yang keren, kan ? Usianya empat tahun lebih tua dari Ning. Kantornya, di sebuah Kantor Negara di Jakarta. Di bagian apa ? Ning belum menyelidiki. Ning hanya pernah dikenalkan kepada beberapa teman Raymond ketika Ning diajak makan siang di Kantin kantor Raymond. Yang jelas kebaikan dan keramahan Raymondlah yang sementara ini membuat Ning kesengsem. Ning belum mau menghayal ke hal-hal yang lebih jauh lagi dalam hal hubungan asmara ini. Ning musti berhati-hati dalam bergaul di kota Jakarta. Ning tidak mau terjebak oleh kemilau keindahan dunia hanya karena nafsu belaka. Ning hanya tersenyum tulus, berbicara secukupnya dan berjalan sesuai langkah jiwanya yang sejuk.

Ada dua kenakalan lelaki, paling tidak, ketika ia memboncengkan seorang perempuan di belakangnya. Maaf, dada dan tangan orang yang diboncengnyalah yang diharapkan bisa lebih lama menyentuh kulit sang lelaki. He he he. Maka dari itu, Ning mengatur posisi duduknya dengan seksama. Ia akan mengenakan jaket tebal, dan tas berisi apalah yang ringan dan empuk untuk digantungkan ke lehernya tetapi menutupi dadanya. Ning tidak perlu membawa pakaian ganti dari Jakarta, toh di rumah Tegal pakaiannya juga masih ada yang ditinggal.

Antara Jakarta – Tegal, adalah perjalanan cinta Ning dan Raymond. Segala harapan mereka akan terwujud tergantung kisah mereka di dalam perjalanan mudik Lebaran ini. Karena mereka bisa lebih saling kenal terhadap hal-hal pribadi sekali pun. Bukan hanya kelembutan romansa cinta mereka, tetapi karakter dasar mereka pun kerap muncul. Karakter yang keras misalnya galak, emosional, bahkan marah besar merupakan karakter yang tidak diharapkan setiap pasangan. Apalagi misi di dalam perjalanan mudik mereka adalah misi asmara, tentu nuansa romantisme lah yang senantiasa muncul. Karakter terburuk yang dipunyai pasti akan disimpan rapat-rapat.

” Ning, kita istirahat dahulu di Masjid itu ya. Sebentar lagi maghrib dan kita bisa berbuka dengan air mineral dan kurma yang kamu bawa ya, ” kata Raymond sambil membelokkan sepeda motornya ke halaman Masjid di pinggir jalan jalur Pantura.

Ning turun dari boncengan dan melepas helm-nya yang disambut Raymond untuk dicantelkan ke stang sepeda motornya. Raymond yang tampan mengerlingkan sebelah matanya ke Ning pertanda ia mengagumi wajah kekasihnya itu. Dengan mesra dan penuh kelembutan Raymond meraih lengan Ning dan menggandengnya hingga duduk di teras depan Masjid itu. Bukan hanya mereka berdua yang mengaso di pelataran Masjid itu tetapi cukup banyak sudah pemudik Lebaran yang tiba duluan.

“ Ramai sekali Ning. Dimana kita ini dan apakah rumahmu masih jauh ?, ” tanya Raymond sambil duduk dan menggeliatkan punggungnya pertanda ia capek sekali.

” Alhamdulillah kita sudah sampai di Brebes, kira-kira setengah jam lagi kita sampai. Masjid ini kayaknya masjid terbagus di kota Brebes, sepertinya belum lama di bangun ya. Aku baru lihat ada masjid sebagus ini di Brebes, ” kata Ning lembut sekali.

Adzan Maghrib pun berkumandang dari menara masjid itu. Ning dan Raymond, sepasang kekasih yang tengah kasmaran itu berbuka dengan kurma dan seteguk air mineral yang dibawanya. Indah nian suasana malam takbiran di masjid ini, apalagi hanya berduaan dalam dekapan romansa Lebaran. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laaillaha Ilallahu Allahu Akbar. Allahu Akbar wa lillah Ilham.....

Setelah selesai sholat Maghrib di masjid itu, Raymond dan Ning melanjutkan perjalanan. Ning berjanji akan menunjukkan pada Raymond dimana tempat yang banyak menjual makanan khas Tegal yang digandrungi banyak orang, yaitu Sate Kambing Tegal. Raymond pun begitu antusias ingin segera sampai ke Tegal. Rupanya jarak dari Brebes – Tegal itu tidak begitu jauh. Cuma sekitar 15 menit sudah sampai. Dan mereka pun tiba di warung sate langganan keluarga Ning biasa mampir. Ning bilang sebaiknya pesan satu kodi saja dahulu nanti jika suka dan masih kepingin, ya besok-besok mampir lagi. Satu kodi sate kambing muda dan dua porsi sop cukup membuat mereka kenyang dan hangatnya kuah sop membuat tubuh mereka hangat kembali. Ning menyarankan nanti mampir lagi di kawasan Talang untuk membeli makanan khas Tegal lainnya yaitu Sauto Tegal. Biar dibungkus saja. Nanti malam-malam jika sempat kita makan lagi di rumah, kalau tidak sempat ya dimakan besoknya. Tiba-tiba Raymond terkejut mendengar suara bergemuruh tidak jauh dari warung sate itu.

“ Itu suara KA Argo Muria jurusan Surabaya – Jakarta. Ya lewatnya di sana itu, ” kata Ning sambil tersenyum manis.

Setelah membeli lima bungkus Sauto Tegal yang Ning janjikan tadi. Merekapun segera melanjutkan perjalanannya kembali. Kata Ning, kira-kira sepuluh menit lagi akan sampai di rumah. Jantung di dada Raymond terasa berdebar-debar, sepertinya ia akan gugup ketika harus bertemu kedua orang tua Ning nanti. Berapa jumlah kakak –adiknya ? ia belum pernah bertanya. Apa pekerjaan ayahnya atau seberapa besarkah rumah Ning, ada berapa kamarnya dan tidur di kamar siapa nanti, apakah ia akan ditinggalkan Ning sendirian sementara Ning akan bercengkerama dengan keluarganya karena rasa kangen yang sudah terobati ? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya deg-degan dan serasa demam panas dingin. Lain sama sekali dengan rasa deg-degan Raymond ketika harus melalui persoalan berat yang sering dijumpai di kantor tempatnya bekerja. Inikah yang namanya demam kasmaran ?

“ Belok ke kiri Mas. Masuk ke rumah itu ! Kita langsung saja lewat ke samping kanan. Biar motornya diparkir di sini saja, nanti ada yang mengurus. Kita langsung masuk dan sungkem ke Mama dan Papa, mereka sudah menunggu di ruang keluarga pastinya, ” kata Ning sambil mempersilakan Raymond naik sejengkal ke lantai teras belakang rumah yang jika ke kanan ke arah dapur dan ke kiri ke ruang makan keluarga.

Jantung Raymond yang berdegup kencang tadi, menyebabkan tubuhnya terasa ringan dan langkah kakinya melayang-layang. Ia pun berjalan mengikuti langkah anggun Ning menuju ruang keluarga dimana katanya kedua orang tuanya sudah menunggu. Raymond ikut bersalaman ketika Ning selesai sungkem dan memeluk – cium ayahanda tercinta. Raymond hanya memperhatikan tangannya digenggam Papanya Ning dan benar-benar tidak berani memandang ke wajahnya. Tetapi setelah mencium tangan Mama, entah mengapa Raymond berani sekali menatap wajahnya, ia ingin memastikan apakah kecantikannya sama dengan kecantikan wajah anaknya ? Seperti adegan di sinetron, proses menatap wajah Mama itu begitu dramatis……lama sekali. Kekaguman itu yakin membuatnya tak ingin pernah melepas Ning ke pelukan lelaki lain.

Ternyata Raymond diberi jatah kamar kakak lelaki Ning yang saat ini tidak mudik karena saat ini bekerja di Selandia Baru. Raymond hanya ingin mandi dan mengobrol saja bersama Ning di teras depan atau di mana saja pojok yang romantis di rumah ini. Tetapi setelah mandi Raymond merasa meriang dan lelah sekali. Rasanya demam. Apakah masih demam kasmaran ? Hakh, ia malah bersin-bersin dan agak pening kepalanya. Rupanya ia betul-betul demam meriang.

Ning memberi minuman serbat hangat dan juga pil anti demam agar kondisinya tidak menjadi lebih parah. Bahkan ayahnya menyarankan untuk memanggil tukang pijat. Tetapi tidak janji, akan berhasil atau tidak ? Mana mungkin ada tukang pijat di malam takbiran ?

Sambil menunggu tukang pijat tiba, Ning dan Raymond mengobrol di ruang tamu yang tidak terganggu oleh masuknya angin malam. Mereka memilih di kursi tamu yang pojok kanan saja. Raymond bingung juga kok ruangan tamu ini luas sekali dengan lima set kursi tamu yang masing-masing diterangi lampu kristal kuno yang masih terawat. Ada lampu yang terang dan yang temaram. Ning menceritakan, bahwa ayahnya adalah mantan kepala desa yang disegani di kampung ini. Ruangan ini dahulu dipergunakan juga untuk pertemuan dan menerima tamu-tamu istimewa. Entah mengapa Ning menyalakan lampu yang terangnya temaram, ternyata katanya agar cepat mengantuk dan agar segera bisa beristirahat tentunya. Tetapi bagi Raymond, meskipun matanya nampak sayu dan lelah nampaknya tidak ingin melewatkan kesempatan mengobrol ini berlalu begitu saja. Ia masih ingin mengetahui banyak hal tentang gadis yang kelak akan dipersuntingnya sebagai pasangan hidupnya dan tentu kerinduannya akan hal-hal yang bernuansa kelembutan selembut tutur sapa keluarga Ning yang jarang ditemukan di lingkungan rumahnya di Jakarta.

“ Mas, kayaknya tukang pijat itu tak akan datang. Kita tidur saja yuk, Mas sudah ngantuk sekali kan ? Nanti Mas tidur ditemani adikku, Aji ya. Aji tidur di divan. Besok kita banyak acara lho dan harus bangun pagi untuk sholat Ied, ” ajak Ning sambil berdiri. Raymond pura-pura sedih karena sebenarnya ia takut tidur sendirian di tempat yang asing, meski akhirnya Ning tahu juga bahwa Aji akan menemaninya tidur.

Menjelang Subuh, Ning dan kedua orang tuanya sudah bangun. Ning semalam tidur lelap sekali. Di dalam tidurnya ada terlukiskan taman bunga yang indah. Ada kupu-kupu yang beterbangan dan gaun pengantin yang jubahnya terbang-terbang tertiup angin asmara. Ning memang sedang asyik masyuk dalam romansa asmara sepasang merpati. Ia tengah menguntai bunga-bunga mimpi yang diinginkan semua orang.

Ning membuka kamar yang ditempati Raymond perlahan-lahan agar ia tidak terbangun. Ia pun diam-diam ingin mengintip bagaimana sosok Raymond ketika sedang tidur. Maka Ning deg-degan juga masuk ke kamar itu karena khawatir ketahuan. Rupanya Raymond tidur lelap sekali. Capek mengendarai sepeda motor Jakarta – Tegal membuatnya begitu menikmati kesempatan tidur itu. Di hati Ning, ucapan syukur pun terucap : “ Subhanallah , semoga dialah jodohku “. Tetapi ia tak mau lama-lama di kamar itu. Ia bergegas membangunkan Aji untuk sholat Subuh dan nanti segera membangunkan Raymond agar tidak terlambat sholat Subuh-nya.

Setelah keluar dari kamar Raymond, Ning masih mengelus-elus dadanya. Pertanda kekaguman dan rasa cintanya.Subhanallah ! Sebagai perempuan, rasa kagum kepada lain jenis memang harus disembunyikan. Kata mama, di situlah letak martabat dan harga diri wanita. Jatuh cinta kepada lelaki adalah hal yang lumrah sebagai manusia, tetapi pasti kita akan dibalas cinta yang lebih tulus lagi dari lelaki itu jika perasaan itu disimpan saja di dalam hati tetapi dengan perbuatan yang lemah lembut penuh rasa cinta terhadapnyalah sang lelaki bakal mengetahui dengan pasti dan membalasnya dengan rasa cinta yang lebih tulus dan menghormati. Itulah nasihat orang tua untuk kebaikan anak-anaknya dan jangan pernah dilupakan tentunya.

Lagu Bimbo, ” Lebaran Sebentar Lagi ”, rupanya terjadi di Tegal bagi Raymond. Giliran dia yang merasa sedih karena Lebaran tahun ini jauh dari orang tua dan keluarganya. Pulang jalan kaki dari lapangan tempat sholat I'ed dengan arah yang berbeda dari saat berangkat merupakan sunnah Rasul dan itu dilakukan rombongan keluarga besar Ning. Sayangnya Ning membiarkan Raymond bergabung bersama keluarganya yang laki-laki, sehingga ia merasa sendiri karena ia ternyata lambat untuk segera beradaptasi. Hanya sesekali ia menimpali pertanyaan keluarga laki-laki Ning dan jawaban seadanya adalah pilihannya. Ia pun teringat kepada orang tua dan kedua adiknya. Bagaimana Lebaran mereka di Jakarta ya ? Tiba-tiba ia ingat untuk menghubungi orang tua dengan telepon. Handphone yang dipegangnya kini menempel di telinga dan masih diam menunggu diangkat. Kemudian ia berhenti melangkah, ” Mama, Emond mohon maaf lahir dan bathin. Mama, Papa dan adik-adik tadi sholat I'ed dimana ? Semoga bahagia dan sehat selalu Ma....”, kata Raymond kepada ibunya yang terdengar berbicara sambil menangis kecil. Tentunya tangisan rindu ibu kepada anaknya. Raymond pun kaget ketika ternyata Ning sudah berada di sampingnya. Sambil menyambut tangan Ning dan digenggamnya erat-erat, kemudian diciuminya tangan itu dan ditempelkan di pipinya, Raymond berbicara ke mamanya : ” Oh ya Ma, ini Ning mau ikutan bicara....”, HP itu diserahkan ke Ning. Seolah tak mau berpisah lagi dengan Ning, tangan kiri Ning digenggam erat-erat. Mata indah Ning nampak berkaca-kaca mendengar suara mama Raymond di Jakarta sana. Suara di HP yang jernih dan terasa dekat membuat mereka seolah sudah kenal lama dan cocok sebagai calon menantu dan calon mertua. Makanya Reymond dan Ning memuji TELKOMFlexi. Bayangkan mutu suara yang jernih dan tersambung gak pake lama, di Lebaran tahun ini pulsanya discount hingga 100 %, Jadi mereka ngomong tadi gak pake biaya alias gratis. Ya masyarakat mana yang tidak bahagia jika banyak kebutuhan kita yang harganya murah karena selalu ada discount apalagi dengan kualitas yang prima pula. Moga-moga aja Indonesia terus jaya ya....!

” Terima kasih Ning, kamu telah membuat mama bahagia. Aku ingin Lebaran tahun depan kita sudah menikah dan suasananya berbeda. Mungkin kamu sedang mengandung anak kita........ya......”, ucap Raymond penuh harap dan membuat Ning tersipu malu tetapi jemari Raymond yang dibelaikan di kedua pipi Ning yang putih kemerahan itu tentu membuat Ning merasa tubuhnya dialiri setrum cinta yang dahsyat.

Lebaran di Tegal, menciptakan sejarah tersendiri bagi Raymond. Dengan cukup meyakinkan dan berani, Raymond menyampaikan kesungguhan hati untuk memohon kepada kedua orang tua Ning bahwa ia kelak akan meminang Ning sebagai pasangan hidupnya. Bahkan meski ia berbohong, kedua orangtuanya di Jakarta telah menyetujui dan dalam waktu dekat ini akan datang ke Tegal untuk melamar (padahal orang tuanya belum pernah membicarakan hal itu secara langsung lho...he he he). Raymond bilang, ia ingin segera menikahi Ning. Kesungguhan itu diperlihatkan pula olehnya ketika ia diajak Ning berkunjung ke keluarga besar mama-papanya. Alhamdulillah, nampaknya ia akan diterima 100 %. Kenapa pula harus ditolak ? Dan mendengar kesungguhan Raymond, Ning pun bersyukur bahwa semoga doanya selama ini benar-benar dikabulkan Tuhan.

Seminggu ber-Lebaran di Tegal, cukup sudah bagi mereka, dan mereka harus kembali lagi ke Jakarta untuk bekerja kembali. Namun kenikmatan perjalanan mudik Lebaran bagi mereka adalah karena mereka kini mempunyai cinta yang direstui kedua orangtua. Cinta yang tidak terlarang, karena mereka menjalaninya dengan cinta yang tulus dan saling menghormati. Mereka punya martabat dan harga diri yang diagungkan. Dan kelak tidak begitu mudah orang lain untuk menggoyahkan ”bangunan” cinta mereka. Mereka adalah anak-anak manusia yang baik-baik. Karena perjalanan mudik Lebaran, antara Jakarta – Tegal, adalah kisah perjalanan cinta mereka. Mereka menemukan keindahan cinta sesungguhnya, romansa asmara yang kelak akan memperkokoh bangunan cinta itu.( Untuk R & N. Dari daur ulang produksi 2007 ).