Selasa, 10 Maret 2009

" Mbok Minah "

(Tulisan ini bersifat fiktif belaka. Karenanya nama, karakter, tempat, tokoh, dsb juga fiktif)

Mbok Minah menyeka peluhnya berkali-kali. Matahari pagi ini menyorot tajam persis ke hadapannya. Ia berkali-kali berucap, “Masya Allah...”. Dagangannya hari ini baru terjual lima belas bungkus saja, padahal ia menyiapkan 75 seperti hari-hari sebelumnya. Ia berdiri memandang ke sekitar, kanan-kiri-belakang. “ Ya Allah ada apa gerangan ?, sehingga daganganku belum habis.......” Ini adalah kali pertama selama lima tahun berjualan, sepi pembeli, padahal orang yang berlalu lalang cukup banyak di Alun-alun kota ini. “ Apakah sekarang orang sudah tidak suka menyantap jajanan tradisional lagi ? Apakah rasa getuk singkong, kue kapur, ongol-ongol dan jadah buatanku sekarang tidak bisa memenuhi selera mereka lagi? Apakah orang sudah tidak tertarik lagi kepada penjual jajanan yang semakin hari semakin tua ini.....? “, jeritan pertanyaan itu berkali-kali muncul di dalam hatinya.

Mbok Minah menggendong bakulnya di punggung. Ia harus segera mengambil langkah seribu agar dagangannya habis. Ia banting stir agar dagangannya habis sebelum waktu Dhuhur. Karena ia harus sampai ke rumah untuk melakukan proses pembuatan materi dagangan yang dipersiapkan untuk esok hari. Ia pun harus berada di rumah agar kedua anaknya terlayani ketika mereka pulang dari sekolah. Karena ia sangat membanggakan anak-anak keturunannya dan ia rela bersusah payah menghidupi serta membahagiakan buah hatinya itu. Ia sangat bersyukur dikaruniai keluarga sederhana seperti yang dialaminya ini.

Mbok Minah tiba di komplek perumahan real estate. Baru kali ini ia masuk. Meski rumah mereka besar-besar namun nampak sepi. Pastilah penghuninya berada di dalam rumah. Mereka lebih nyaman di dalam karena di luar cukup panas hari ini. Makanya mungkin mereka menanam pohon-pohon besar di tepi jalan, ada mangga, sukun, dan juga palm agar nuansanya lebih teduh. “ Enak juga berjualan di komplek ini “, bisiknya dalam hati.

“ Jajan....jajan....Bu. Ada getuk singkong, kue kapur, ongol-ongol juga ada.....”, teriak Mbok Minah di depan pagar sebuah rumah bercat coklat yang besar namun bersih. Ini adalah rumah pertama yang terletak di pojok dekat pintu gerbang masuk. “ Bu....jajannya.........”, ujarnya lagi. “Alhamdulillah.....”, ucapnya lirih, “ yang punya rumah keluar !”. Seorang wanita muda bercelana putih dan berjilbab nan ayu itu mendekat, “ Jajanan apa yang Mbok bawa ? Rasanya Mbok baru kali ini ya berjualan jajan di komplek ini ? “, tanya wanita itu ramah. Mbok Minah membuka plastik penutup bakulnya. “ Ooh jajanan ini....., boleh bungkus lima Mbok, campur-campur aja. Rasanya enak kan Mbok ? “. Mbok Minah mengangguk. Lumayan, pikirnya, jika satu rumah membeli lima bungkus saja daganganku pasti cepat habis. Apalagi jumlah rumah di komplek ini lima puluh unit mungkin lebih. Ya nantinya setiap rumah akan dikunjungi dua hari sekali secara bergantian agar mereka tak bosan . Ia akan berjalan terus dan terus berjalan menjajakan dagangannya. Sebagai pedagang pun Mbok Minah mempunyai target tertentu mengenai jumlah jajanan yang dibawa. Ia tidak mau membawa terlalu berlebihan, mana mungkin kuat. Dan ia pun harus berhati-hati agar tidak banyak jajanan tersisa karena tidak laku. Jika ia pulang masih membawa sisa biasanya akan dimakan sendiri atau dikirimkan ke tetangga sebelah atau anak-anak tetangga yang kadang-kadang bermain di halaman rumahnya.

Wajah Mbok Minah sumringah karena dagangannya bisa habis di komplek perumahan ini. Ia berjalan dengan penuh semangat. Ia berkali-kali mengucapkan syukur kepada Tuhan, karena ia tidak sampai berputus asa, bahkan malah diberi-Nya jalan untuk masuk di komplek ini, dan ternyata dagangannya bisa habis.

Mbok Minah berhenti di bawah pohon sukun di depan rumah Wanita Ayu itu, rumah pertama yang menurutnya sangat bersejarah dalam berjualan jajanan di komplek perumahan itu. Ia pun berkenalan dengan tukang becak yang juga tengah beristirahat di bawah pohon itu.Ia memandangi rumah itu dalam-dalam. Ia berharap Wanita Ayu itu keluar kembali, karena ia ingin tersenyum dan menyapa untuk mengucapkan terima kasih atau apalah. Wanita Ayu itu seperti pernah dikenalnya. “ Namanya Bu Mansyur....”, kata tukang becak. Mbok Minah jadi tersipu malu karena rupanya tukang becak itu memperhatikan tingkah lakunya sehingga dia berhasil menebak tentang apa yang sedang terlintas di pikirannya.

Ya, Mbok Minah pedagang jajanan tradisional itu telah menemukan jalan, bagaimana cara menghabiskan dagangannya. Meski berubah caranya dan lebih capek, ia merasa puas dan juga bahkan bertambah kenalannya. Mbok Minah, hari ini dagangannya bisa habis. ( medio : 24032008 ) .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar